Biaya haji untuk tahun 2024 diusulkan naik menjadi Rp105 juta, dan hal ini menuai keberatan dari calon jemaah haji.
Pengamat dan praktisi industri umrah serta haji menyebutkan bahwa besaran biaya tersebut dianggap terlalu tinggi dan memberatkan.
Mereka menyarankan agar Kementerian Agama dan Komisi VIII DPR meninjau kembali komponen biaya yang dapat ditekan sehingga kenaikan biaya tersebut lebih moderat, berkisar antara 1%-3%.
Alasan di balik kenaikan biaya haji ini disampaikan oleh Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kemenag, Hilman Latief.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kenaikan termasuk kenaikan kurs mata uang Dolar dan Riyal, serta penambahan layanan.
Penyelisihan kurs ini berdampak pada kenaikan biaya layanan dalam tiga jenis, yaitu layanan dengan harga tetap, layanan yang harganya naik, dan layanan yang harganya naik serta volumenya bertambah.
Dalam rapat bersama Komisi VIII DPR, Kemenag merinci 14 komponen biaya haji reguler tahun 2024, termasuk pelayanan akomodasi, transportasi, konsumsi, penerbangan, pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina, biaya hidup, perlindungan, pelayanan di embarkasi atau debarkasi, pelayanan keimigrasian, premi asuransi, biaya dokumen perjalanan, biaya pembinaan jemaah haji, biaya pelayanan umum di dalam negeri dan di Arab Saudi, serta biaya pengelolaan BPIH.
Calon jemaah haji menyatakan keberatan terhadap kenaikan biaya tersebut dan berencana untuk menunda ibadah haji ke Tanah Suci jika tidak memiliki dana.
Beberapa calon jemaah merasa bahwa kenaikan biaya haji yang signifikan akan memberatkan mereka secara ekonomi.
Panitia Kerja (Panja) Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Komisi VIII DPR menolak usulan BPIH dari Kementerian Agama dan berupaya mencari informasi lebih lanjut tentang komponen biaya yang dapat ditolerir.
Mereka berpendapat bahwa kenaikan biaya haji sekitar 1%-3% dari biaya tahun 2023 lebih toleran.
Panja saat ini sedang membahas setiap komponen biaya dan mengecek harganya di lapangan. Kesenjangan antara usulan Kementerian Agama dan pandangan Panja masih harus diselesaikan dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR.
Ketua Komnas Haji dan Umroh, Mustolih Siradj, menyebut bahwa kenaikan biaya ibadah haji tidak bisa dihindari karena berbagai faktor seperti inflasi, kebijakan pemerintah Arab Saudi yang menaikkan biaya layanan, serta dampak perang antara Israel-Hamas.
Meskipun demikian, dia menyarankan agar Kementerian Agama dan DPR meninjau ulang besaran biaya komponen yang diusulkan, mengingat kondisi perekonomian masyarakat yang belum pulih sepenuhnya pasca pandemi Covid-19.
Praktisi industri umrah dan haji, Firman Taufik, khawatir kenaikan biaya yang signifikan dapat membuat calon jemaah haji menunda atau malah mundur. Dia menyarankan agar komponen biaya pelayanan yang dianggap paling membebani, seperti penerbangan, dipangkas.
Firman juga mengkritisi komponen biaya lain seperti akomodasi, menyarankan agar pemerintah menyewa hotel atau penginapan jauh-jauh hari atau membuat kontrak tahunan untuk menekan biaya.
Penting untuk mencari keseimbangan antara kenaikan biaya haji yang mungkin diperlukan dan memastikan bahwa pelayanan yang diberikan sesuai dengan harapan jemaah haji.