Kelahiran seorang anak merupakan momen istimewa dan penuh berkah bagi setiap orang tua.
Di dalam Islam, momen ini diwarnai dengan berbagai tradisi dan syariat untuk menyambut sang buah hati dengan penuh rasa syukur dan cinta. Salah satu tradisi yang dianjurkan adalah melaksanakan aqiqah.
Aqiqah, berasal dari kata “aqqa” yang berarti memotong, memutus dan memisahkan, merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan bagi bayi yang baru lahir. Melaksanakan aqiqah bukan hanya tradisi, tetapi juga bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas karunia seorang anak.
Artikel ini disusun sebagai panduan lengkap bagi Anda yang ingin memahami hukum aqiqah menurut pendapat para ulama berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hukum Aqiqah Menurut Para Ulama
Mengenai hukum aqiqah, ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, ada yang mewajibkan ada juga yang menghukuminya sebagai ibadah yang sunah atau tidak wajib.
Menurut pandangan Daud Az Zhahiri, hukum melaksanakan aqiqah adalah wajib. Sedangkan menurut pendapat mayoritas ulama (jumhur ulama) hukum melaksanakan aqiqah adalah sunah.
Abu Bakar Al Jaza’iri dan Sayyid Sabiq memiliki pendapat yang berbeda, menurut keduanya hukum melaksanakan aqiqah adalah sunah mu’akkadah atau ibadah sunah yang sangat dianjurkan untuk dilaksanakan oleh umat Islam.
Perbedaan pendapat di kalangan para ulama terjadi akibat perbedaan mereka dalam memahami dan memaknai maksud dari hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini:
كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
Artinya: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka hendaklah disembelihkan untuknya pada hari ketujuh (dari kelahirannya), dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Ibnu Majah no. 3156).
Menurut Dauh Az Zhahiri dan Hasan Al Bashri kata “tergadai” dalam hadits di atas mempunyai arti apabila seorang anak meninggal dunia sebelum diaqiqahkan, maka anak tersebut tidak dapat memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya di akhirat nanti.
Selain itu kata “tergadai” mengisyaratkan bahwa aqiqah adalah “gadaian” yang harus ditebus oleh orang yang menggadaikannya, sehingga hukum melaksanakan aqiqah atas kelahiran anak adalah wajib bagi orang tuanya.
Sementara, mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan para ulama Madinah mereka berpendapat bahwa hadits di atas hanyalah bersifat anjuran, bukan perintah.
Mereka mengaitkan hadits di atas dengan hadits lain, yaitu:
مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْ وَلَدِهِ فَلْيَفْعَلْ
Artinya: “Barangsiapa dikaruniai seorang anak, lantas dia berkeinginan untuk menyembelih kambing untuk anaknya maka laksanakanlah.” (HR. Malik no. 945)
Kata “fa ahabba” dalam hadits di atas menunjukkan bahwa aqiqah boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan.
Artinya, jika orang tua anak tersebut mampu untuk menyembelih kambing untuk anaknya, maka lakukanlah. Tapi jika orang tua anak tersebut tidak mampu, maka hal tersebut tidak apa-apa.
Itulah penjelasan tentang hukum melaksanakan aqiqah untuk anak yang baru lahir.
==
Referensi:
– Kitab-kitab Hadits Populer
– Panduan Muslim Sehari-Hari dari Kandungan Sampai Mati karya Dr. KH. M. Hamdan Rasyid, M.A. dan Ust. Saiful Hadi El-Sutha, S.Ag.